Ayat bacaan: Mazmur 33:21
======================
“Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya.”
Jengkel menghadapi orang lain? Itu sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Selalu saja ada orang-orang yang begitu menjengkelkan sehingga rasanya seperti seolah-olah dihadapkan kepada uji kesabaran. Baik dari sikap mereka, perkataan mereka, gestur atau gerak tubuh mereka, bahkan pandangan mata dan cibiran bibir. Di kalangan tetangga, pekerjaan, sekolah, di jalanan, atau di manapun kita akan bertemu dengan orang-orang seperti ini. Tidak hanya terhadap orang lain, tapi seringkali dalam keluarga sendiri pun kita bisa berhadapan dengan kekesalan. Istri kesal kepada kebiasaan-kebiasaan buruk suami, yang mungkin mendengkur, sembarangan membuang baju kotor dimana-mana, tidak membuka sepatu ketika masuk ke rumah, punya kebiasaan mengeluhkan pekerjaan, dan lain-lain. Atau suami kesal kepada istri? Istri yang terlambat mempersiapkan sarapan, punya hobi membantah, dirasa terlalu sibuk diluar, dianggap kurang peduli, juga berbagai kekesalan “kecil-kecilan” seperti tidak membuatkan secangkir teh dan sebagainya. Kesal, itu sudah menjadi bagian hidup kita. Tapi haruskah kita membiarkan kekesalan itu merampas sukacita ? Haruskah kita menjadi sosok emosional yang harus selalu mengajak suami/istri untuk berkelahi atau “berantem”, juga kepada setiap orang yang mungkin pada suatu saat menjengkelkan kita? Atau dengarlah kata seorang teman pada suatu kali, “bagaimana mau happy kalau semua manusia ini ternyata mengesalkan?”
Jika kita mendasarkan sukacita kita kepada manusia, lama kelamaan kita tidak akan bisa lagi merasakan itu. Manusia bisa mengecewakan, orang terdekat kita sekalipun pada suatu waktu bisa menyinggung perasaan kita tau membuat kita kecewa, tapi Tuhan tidak akan pernah mengecewakan kita. Pemazmur berkata “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.” (Mazmur 46:2). Tidak hanya sebagai tempat perlindungan dan kekuatan, tapi sukacita yang sejati pun sebenarnya berasal dari Tuhan, dan bukan dari manusia. Artinya, kita tidak harus menggantungkan kebahagiaan dan kegembiraan dalam hidup kita kepada manusia lain di sekeliling kita, atau pada keadaan kita saat ini, melainkan menggantungkannya kepada Tuhan, Allah kita yang tidak pernah mengecewakan anak-anakNya. Pemazmur mengatakan seperti ini “Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya.” (Mazmur 33:21). Hati kita bersukacita bukan tergantung dari orang lain atau situasi yang kita hadapi, tapi tergantung dari sejauh mana kita percaya pada Tuhan. Masalah boleh hadir, tapi sukacita tidak boleh hilang karenanya. Orang lain boleh saja membuat kita jengkel, tapi hal itu tidak boleh merampas sukacita dari diri kita. Mengapa? Karena sukacita sesungguhnya berasal dari Tuhan, bukan dari orang atau situasi di sekeliling kita.
Bagaimana Paulus dan rekan-rekan sepelayanan bisa tetap teguh dan memiliki sukacita serta kerinduan untuk mewartakan Kristus ditengah kesengsaraan dan penderitaannya? Apa yang mereka hadapi sungguh berat. Dirajam, disiksa, ditangkap, bahkan menjadi martir, semua itu tidak merampas sukacita sama sekali dari diri mereka. Paulus memberikan alasannya dengan gamblang. “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.” (2 Korintus 4:17). Inilah bentuk memandang Allah dan mendasarkan sukacita kepada Sang Pemberi yang sesungguhnya. Orang-orang yang menjengkelkan dan mengecewakan kita akan terus ada, masalah boleh saja terus ada, tapi semua itu bisa kita pergunakan sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan diri kita, bagaimana kita bisa mengambil keputusan dengan tepat, bagaimana kita bisa cakap menghadapi orang dalam berbagai sifat dan kelakuan. Nobody’s perfect. Tidak istri atau suami kita, tidak teman-teman kita, tidak siapapun, dan yang pasti tidak juga kita. Kita pun tidak sempurna. Mereka punya kelemahan, kita pun demikian. Kita bisa belajar melatih kesabaran dan keluwesan dari orang-orang yang sulit dihadapi ini. Kelemahan orang lain pun merupakan sarana pembelajaran bagi kita bahwa orang lain butuh dilengkapi oleh kita. Kelemahan kita membuka kesempatan bagi orang lain untuk belajar bagaimana mereka bisa memahami kita. Semua permasalahan itu tidak boleh merampas sukacita, karena sukacita yang sebenarnya itu berasal dari Tuhan.
Selain daripada itu, kita pun harus membereskan segala kesalahan dan masalah kita di masa lalu. Hidup dengan hati yang tertuduh pun bisa merampas sukacita dari diri kita. “Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah” (1 Yohanes 3:21). Seringkali perasaan tertuduh dan bersalah membuat kita ragu untuk mendekati Tuhan, dan akibatnya kita tidak lagi merasakan sebentuk sukacita yang berasal dariNya. Jika kita membereskan semua kesalahan kita, mengakuinya di hadapan Tuhan dan membereskan dengan orang-orang yang berkaitan dengan itu, memberikan pengampunan bagi mereka yang pernah menyakiti kita, kita pun akan menerima pengampunan dari Tuhan. Kita bisa membangun kembali hubungan kita dengan Tuhan, dan dengan demikian sukacita daripadaNya akan kembali mengalir ke dalam diri kita.
Siapapun orangnya, pada suatu kali bisa saja mengesalkan kita. Semua orang punya kelemahan masing-masing, baik dari sifat, perilaku, kebiasaan dan lainnya. Tapi tidakkah mereka juga punya kelebihan sendiri-sendiri? Mungkin suami kita bukanlah orang yang rapi, tapi dia setia dan begitu menyayangi kita. Mungkin dia mendengkur, tapi itu karena ia mati-matian membanting tulang demi memenuhi kebutuhan kita. Mungkin istri kita pada suatu ketika terlambat bangun dan menyiapkan sarapan, tapi tidakkah kita bahagia ketika melihat senyumannya menyambut kita pulang kerja? Mungkin dia punya sifat cuek dan kurang romantis, tapi bayangkan hidup tanpa dirinya. Nobody’s perfect, we all make mistakes. Jangan dasarkan kepada kesalahan-kesalahan itu, tapi dasarkanlah pandangan kita pada semua yang yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji. (Filipi 4:8). Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersukacita, karena semua itu berasal dari Tuhan dan berada jauh di atas segala permasalahan atau orang-orang yang mengecewakan kita. Maka Firman Tuhan berkata, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4), “Bersukacitalah senantiasa.” (1 Tesalonika 5:16). Percayalah bahwa kita punya Tuhan yang jauh lebih besar dari semua masalah, yang telah memberikan kita sukacita sejati terlepas dari apapun keadaan kita hari ini dan siapapun yang kita hadapi saat ini. Oleh karenanya, jangan biarkan sukacita kita dirampas. “Bersukacitalah senantiasa.Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:16-18). Are you ready? Let’s rejoice!
Sukacita sejati berasal dari Tuhan, bukan dari orang lain atau situasi yang kita hadapi .
Tuhan Yesus Memberkati.